Proyeksi Layar HP Ke PC dan Laptop : Screen Mirroring Menggunakan Vysor

Dwi Kustari, S.Sos. BBPMP Provinsi Jawa Tengah   Pengantar Saat melakukan presentasi tentang sebuah aplikasi, terkadang kita dituntut untuk menunjukkan...
Read More

Laporan ULT Bulan Maret 2022

Laporan Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) Bulan Maret 2022 ULT LPMP Provinsi Jawa Tengah   Jumlah Pengunjung ULT LPMP Provinsi Jawa...
Read More

Release Update ARKAS V 3.3

Pada Tanggal 21 April 2022 Aplikasi arkas update Release Update ARKAS V 3.3. Berikut adalah listperbaikannya: 1. Penyesuaian tarif PPn...
Read More

Bimtek Platform Merdeka Belajar dan IKM bagi Pengawas Angkatan I

Semarang-LPMP Jateng.  Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Jawa Tengah melaksanakan Bimbingan Teknis Pemanfaatan Platform Merdeka Mengajar dan Implementasi Kurikulum Merdeka...
Read More

URGENSI PENALARAN DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Oleh :

Pujiadi, S.Pd., M.Pd., M.Kom. – Widyaiswra LPMP Jawa Tengah

 

Berpikir ilmiah berbeda dengan berpikir biasa. Kebenaran ilmiah dicapai melalui metode ilmiah yang didasari oleh cara berpikir ilmiah. Dalam dunia ilmu dikenal beberapa sarana berpikir ilmiah, yakni bahasa, logika, matematika, dan statistika.

Bahasa sangat penting dalam pergaulan sehari-hari dan dalam dunia keilmuan. Kehidupan dan ilmu tidak dapat “hidup” tanpa bahasa. Logika adalah cabang filsafat yang menyelidiki kelurusan/ ketepatan berpikir. Terdapat dua macam logika, yakni logika deduktif, dan logika induktif. Pada logika deduktif, penalaran bergerak dari hal-hal umum (universal) kepada hal-hal khusus (partikular). Sebaliknya pada logika induktif, penalaran bergerak dari hal-hal khsusus kepada yang umum. Dengan demikian, pada logika deduktif, simpulan lebih sempit dari premis. Sedangkan pada logika induktif, simpulan lebih luas dari premis. Jadi logika berhubungan erat dengan matematika (logika deduktif) dan statistik (logika induktif), namun demikian penalaran logika relatif lebih sederhana, dibandingkan matematika yang dianggap lebih terinci.

Penalaran itu sendiri merupakan bentuk tertinggi dari pemikiran, yaitu proses pengambilan simpulan berdasarkan proposisi-proposisi yang mendahuluinya. Attridge (2013) mendefinisikan penalaran sebagai proses kognitif untuk menyimpulkan informasi baru dari informasi yang diberikan. Menurut Shurter dan Pierce (1966) istilah penalaran diterjemahkan dari reasoning yang didefinisikan sebagai proses pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Jadi penalaran merupakan suatu kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk mendapatkan simpulan atau membentuk pernyataan baru atas dasar pernyataan sebelumnya yang telah terbukti benar, atau dianggap benar (Copi, Cohen, & McMahon, 2014). Dengan demikian dalam penalaran terdapat suatu aktifitas berpikir yang mengikuti pola, alur, dan kerangka/logika tertentu (frame of logic), atau dinamakan proses berpikir logis. Disamping berpikir logis, proses berpikir dalam penalaran juga bersifat analisis, artinya bahwa penalaran merupakan suatu kegiatan yang mengandalkan diri pada suatu analisis, yang merupakan konsekuensi dari adanya pola berpikir analisis-sintesis berdasarkan langkah-langkah tertentu.

Penalaran (kemampuan bernalar) bagi setiap orang (termasuk peserta didik/siswa) sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari, khususnya pada saat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi, baik dalam lingkup pribadi, masyarakat dan lingkup sosial lain yang lebih luas. Demikian pula dalam pembelajaran matematika, kemampuan penalaran (penalaran matematis) berperan penting baik dalam pemahaman konsep maupun dalam pemecahan masalah (problem solving). Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa kemampuan penalaran diperlukan siswa baik dalam proses memahami matematika itu sendiri maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Urgensi di atas sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika, seperti tertuang pada pedoman mata pelajaran matematika, di sana telah dirumuskan tujuan pembelajaran matematika antara adalah agar peserta didik dapat: (1) menggunakan pola sebagai dugaan dalam  penyelesaian masalah, dan mampu membuat generalisasi berdasarkan fenomena atau data yang ada,  (2) menggunakan penalaran pada sifat, melakukan manipulasi matematika baik dalam penyederhanaan, maupun menganalisa komponen yang ada dalam pemecahan masalah dalam konteks matematika maupun di luar matematika (kehidupan nyata, ilmu, dan teknologi), (3) mengomunikasikan gagasan, penalaran serta mampu menyusun bukti matematika dengan menggunakan kalimat lengkap, simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (4) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Kemdikbud, 2014).

Rumusan tujuan di atas mengisyaratkan bahwa salah satu penekanan dalam kurikulum matematika adalah pengembangan kemampuan penalaran siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah. Hal ini sejalan dengan National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) yang menyatakan bahwa pada tingkat menengah, siswa seharusnya mempunyai frekuensi dan pengalaman yang berbeda dalam penalaran matematis seperti: 1) uji pola dan struktur untuk mendeteksi keteraturan; 2) merumuskan generalisasi dan konjektur tentang keteraturan yang diamati; 3) mengevaluasi konjektur; 4) mengkonstruksi dan mengevaluasi argumen matematika (NCTM, 2000).

Lebih lanjut dalam pedoman mata pelajaran matematika diuraikan pula bahwa kemampuan siswa dalam menggunakan pola sebagai dugaan dalam  penyelesaian masalah, dan membuat generalisasi berdasarkan fenomena atau data yang ada, dapat ditunjukkan dengan kemampuan siswa mengajukan dugaan (conjecture), menarik kesimpulan dari suatu pernyataan, memberikan alternatif bagi suatu argument, dan menemukan pola pada suatu gejala matematis.

Sementara indikator pencapaian kecakapan siswa menggunakan penalaran dalam pemecahan masalah dalam konteks matematika maupun di kehidupan nyata, ilmu, dan teknologi, meliputi kecakapan memahami masalah, mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam mengidentifikasi masalah, menyajikan suatu rumusan masalah secara matematis dalam berbagai bentuk, memilih pendekatan dan strategi yang tepat untuk memecahkan masalah, menggunakan atau mengembangkan strategi pemecahan masalah,  menafsirkan hasil jawaban yang diperoleh untuk memecahkan masalah, dan menyelesaikan masalah.

Adapun kemampuan siswa mengomunikasikan gagasan, penalaran dan menyusun bukti matematika ditunjukkan oleh kecakapan siswa memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran suatu pernyataan, menduga dan memeriksa kebenaran dugaan (conjecture), memeriksa kesahihan atau kebenaran suatu argumen dengan penalaran induksi, menurunkan atau membuktikan rumus dengan penalaran deduksi, menduga dan memeriksa kebenaran dugaan (conjecture). Sedangkan untuk indikator pencapaian kecakapan siswa untuk memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yakni meliputi memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, bersikap penuh perhatian dalam belajar matematika, bersikap antusias dalam belajar matematika, bersikap gigih dalam menghadapi permasalahan, dan memiliki penuh percaya diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah.

Dari uraian di atas maka perlu bagi guru untuk memahami terlebih dulu kemampuan bernalar siswa, agar tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai dan indikator-indikator pencapain kecakapan siswa dapat tampak secara nyata dan konsisten, khususnya terkait kemampuan penalaran siswa. Hal ini seperti ditegaskan oleh Tate dan Johnson (1999) bahwa salah satu indikator guru matematika yang berkualitas adalah bagaimana baiknya guru memahami proses bepikir dan penalaran siswa tentang matematika dan bagaimana memperluas kemampuan mereka. Demikian juga Fennema dan Frankle (1992) menjelaskan bahwa jika pengetahuan tentang penalaran siswa diintegrasikan pada kurikulum, maka akan memberikan pengaruh positif terhadap mengajar dan belajar matematika.

Ball (1990) menyatakan bahwa kemampuan guru untuk menganalisis penalaran siswa adalah lemah. Berdasarkan hasil penelitiannya dia mengajukan usulan yakni tujuan umum program pendidikan keguruan agar diupayakan untuk meningkatkan pengetahuan calon guru dalam memahami bagaimana anak berpikir (baca: bernalar) tentang topik matematika yang akan diajarkan. Ditegaskan oleh Davis (Hiebert, 1986) bahwa jika guru tidak memperhatikan bagaimana siswa berpikir maka guru tidak akan sukses dalam mengajarkan matematika.

Di Indonesia secara umum salah satu masalah dalam pendidikan matematika adalah mengetahui bagaimana siswa mempelajari dan dapat menguasai konsep-konsep, aturan-aturan, prosedur, atau proses yang rumit dalam matematika. Dengan demikian, tidak cukup bahwa guru hanya dituntut untuk memahami materi matematika, tetapi harus juga memahami bagaimana siswa memahami materi matematika tersebut, termasuk memahami penalaran siswa (Marpaung, 1992).

Mengingat pentingnya penalaran dalam pembelajaran matematika, maka penelitian tentang penalaran juga banyak dilakukan. Antara lain penelitian yang dilakukan oleh Riyanto dan Siraj (2011). Hasil dari penelitian ini dilaporkan bahwa terdapat pengaruh kemampuan penalaran terhadap prestasi siswa, yaitu prestasi siswa yang kemampuan penalarannya tinggi lebih baik daripada siswa yang penalarannya rendah. Simpulan lain dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan pendekatan pembelajaran yang digunakan juga memiliki pengaruh terhadap peningkatan penalaran siswa, dalam hal ini pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme lebih baik daripada pembelajaran dengan pendekatan konvensional dalam meningkatkan kemampuan penalaran siswa. Sehingga penelitian ini merekomendasikan  bagi guru matematika, supaya menggunakan pendekatan konstruktivisme sebagai alternatif dalam memperkaya variasi pembelajaran sehingga siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya yang akan berimplikasi terhadap peningkatan kemampuan penalaran siswa, disamping juga prestasi matematika.

Penelitian lain tentang penalaran dilakukan oleh Caren A Frosch dan Victoria Simms (2015). Penelitian ini membahas tentang tentang hubungan antara kemampuan matematika dan keterampilan penalaran. Di mana kemampuan matematika diukur menggunakan the Wood-cock Johnson-III calculation test dan kemampuan penalaran diukur menggunakan the extended cognitive reflection test (CRT). Temuan kunci dari penelitian ini adalah bahwa penalaran (penalaran kondisional) berkorelasi dengan kemampuan matematika, walaupun belum dapat dijelaskan apakah apakah keterampilan penalaran abstrak terkait dengan matematika. Dari penelitian ini diakui juga bahwa ukuran penalaran domain umum sangat bergantung pada kemampuan verbal, sehingga diusulkan bahwa kajian selanjutnya harus disertakan ukuran penalaran non-verbal untuk menilai apakah keterampilan penalaran abstrak terkait dengan keterampilan matematika perhitungan, seperti yang disarankan oleh Kroger (Frosch & Simms, 2015) yang menyatakan bahwa area otak berbeda terkait dengan proses matematika dan penalaran, oleh karena itu hipotesis alternatif yang layak dikemukakan adalah apakah kemampuan matematika dan penalaran dihubungkan karena hubungannya dengan karakteristik domain kecerdasan umum.

Hasil penelitian Ko dan Knuth (Frosch & Simms, 2015) juga menunjukkan adanya hubungan yang erat antara penalaran dan kemampuan matematika. Dia menguraikan bahwa jenis keterampilan penalaran digunakan oleh jurusan matematika, termasuk deduktif informal penalaran, penalaran berbasis contoh dan pendidikan lebih lanjut dalam matematika, dibandingkan dengan bahasa Inggris, dikaitkan dengan keuntungan dalam kemampuan penalaran, khususnya karena mampu menolak kesimpulan tidak valid.

Selaras dengan logika, seperti diutarakan di muka, secara umum penalaran terbagi dua, yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif. Dalam penalaran deduktif, kesimpulan yang ditarik merupakan akibat logis dari alasan-alasan yang bersifat umum menjadi bersifat khusus. Penerapan cara berpikir deduktif ini akan menghasilkan teorema-teorema. Teorema-teorema inilah yang selanjutnya digunakan untuk menyelesaikan masalah dalam matematika maupun dalam ilmu-ilmu yang lain. Sedangkan penalaran induktif kesimpulannya berasal dari alasan-alasan yang bersifat khusus menjadi bersifat umum.

Berdasarkan konsep yang dilibatkan, penalaran dibagi atas beberapa macam, diantaranya yaitu: penalaran statistik, penalaran aljabar, dan penalaran spasial. Sedangkan berdasarkan struktur berpikir, penalaran dibagi atas penalaran proporsional, penalaran kondisional, dan penalaran grafikal.

Berbagai macam jenis penalaran ini tentunya dapat menginspirasi para pembaca untuk melakukan penelitian atau kajian lebih lanjut yang bertemakan tentang penalaran. Layak untuk ditunggu.

Referensi

Anderson, A. R., & Belnap, N. D. (1975). Entailment: The Logic of Relevance and Necessity. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

Attridge, N. (2013). Advanced Mathematics and Deductive Reasoning Skills: Testing the Theory of Formal Discipline. Loughborough: Loughborough University.

Ball, D. L. (1990). Prospective Elementary and Secondary Teacher’s Understanding of Devision. Journal for Research in Mathematics Education. 21(2), 132-144.

Braine, M. D. (1978). On the relation between the natural logic of reasoning and standard logic. Psychological Review, 85(1), 1-21 https://doi.org/10.1037/0033-295X.85.1.1 .

Copi, I. M., Cohen, C., & McMahon, K. (2014). Introduction to Logic (Fourteenth Edition). New York: Pearson Education Limited.

Fennema, E., & Frankle, M. L. (1992). Teacher’s Knowledge and Its Impact. In Grouws, & A. D. (Edt.), Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning (pp. 147-164). New York: Macmillan Publishing Co, Inc.

Frosch, C. A., & Simms, V. (2015). Understanding the role of reasoning ability in mathematical achievement. Proceedings of the Euro Asian Pacific Joint Conference on Cognitive Science (pp. 633-638). Torino, Italy: University of Trento.

Hiebert, J. (1986). Conceptual and Procedural Knowledge: The Case of Mathematics. London: Lawrence Erlbaum Associates.

Houston, K. (2009). How to Think Like a Mathematician, A Companion to Undergraduate Mathematics. Cambridge: Cambridge University Press.

Inglis, M., & Simpson, A. (2008). Conditional inference and advanced mathematical study. Educational studies in mathematics., 67 (3), 187-204 http://dx.doi.org/10.1007/s10649-007-9098-9.

Johar, R. (2005). Pengembangan Level Penalaran Proporsional Siswa SMP. Disertasi. Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya (Tidak di Publikasikan).

Kemdikbud. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (Lampiran III). Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi.

Marpaung, Y. (1992). Profil Kemampuan Siswa SMP Yogyakarta Menyelesaikan Soal-soal Perbandingan Senilai dan Berbalik Nilai. Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma.

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston Virginia USA: NCTM.

Riyanto, B., & Siroj, R. A. (2011). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Prestasi Matematika dengan Pendekatan Konstruktivisme pada Siswa Sekolah Menengah Atas. Jurnal Pendidikan Matematika. Volume 5 No 2, 111-127.

Shurter, R. L., & Pierce, J. R. (1966). Critical Thinking. New York: Mc Graw Hill Inc.

Tate, W. F., & Johnson, H. C. (1999). Mathematical Reasoning and Education Policy: Moving Beyond the Politics of Dead Language. In V. S. Lee, & R. Frances, Developing Mathematical Reasoning in Grades K-12 (pp. 45-61). Virginia USA: NCTM.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

iklan