
Pamer
Slamet Trihartanto
Akhir-akhir ini fenomena pamer marak di media sosial. Apakah ada yang salah jika seseorang pamer kesuksesan, kekayaan, kecantikan, ketampanan, kekuatan, kelenturan, keterampilan, kemewahan, ataupun prestasi lainnya di media sosial seperti WhatsApp, Instagram, Facebook, dan Youtube? Sebelum kita nilai salah atau benar tindakan orang yang suka pamer di media sosial, yuk kita simak beberapa pengertian dan ulasan dari beberapa sumber dan tokoh berikut ini. Untuk dapat memahami trend pamer di medsos yang semakin marak.
Kita mulai dari menyamakan pengertian pamer berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dijelaskan dalam KBBI, pamer adalah kata kerja dengan arti menunjukkan (mendemonstrasikan) sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dengan maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri: pembangunan industri berteknologi canggih dilakukan bukan untuk –. Ada tiga kata kunci dalam pengertian itu: menunjukkan-keunggulan-sombong.
Abraham Maslow mengajukan konsep teori hierarki kebuhan. Menurutnya, terdapat lima kebutuhan dasar, yaitu: kebutuhan fisiologis, rasa aman, kasih sayang, penghargaan, dan aktualisasi diri. Maslow memberi hipotesis bahwa setelah individu memuaskan kebutuhan pada tingkat paling bawah, individu akan memuaskan kebutuhan pada tingkat yang berikutnya. Jika pada tingkat tertinggi tetapi kebutuhan dasar tidak terpuaskan, maka individu dapat kembali pada tingkat kebutuhan yang sebelumnya.
Bisa diibaratkan, seseorang menapaki tangga kebutuhan. Awalnya orang menapaki tangga pertama, kedua, dan selanjutnya. Namun, kadang kala saat ia berada di tangga kebutuhan ketiga harus turun ke tangga awal untuk memuaskan kebutuhan dasarnya. Selanjutnya ia akan melanjutkan menapaki tangga menuju kebutuhan puncaknya. Akan sangat janggal jika seseorang belum cukup memenuhi kebutuhan fisiologisnya sudah ingin memperoleh kebutuhan penghargaan bahkan aktualisasi diri. Orang yang melompat menuju puncak tangga tanpa melewati anak tangga sebelumnya, bisa berakibat fatal. Jatuh terjengkang tertimpa tangga.
Rhenald Kasali, menyebut kebiasaan pamer di media sosial dengan istilah flexing. Beliau menjeleskan bahwa flexing adalah tindakan penyampaian diri dalam bentuk materi berlimpah yang dipamerkan media sosial dan pemberitaan. Cara ini dilakukan seseorang dengan tujuan motivasi, branding, maupun tujuan lain. Terhadap orang yang suka pamer harta, ia mengingatkan dengan pepatah bijak Poverty Screams but Wealth Whispers, menurutnya orang-orang yang benar-benar kaya itu tidak berisik dan akan malu membicarakan kekayaannya. “Biasanya semakin kaya seseorang maka mereka akan menginginkan privasi dan tidak ingin menjadi perhatian,” kata Prof. Rhenald Kasali.
Setelah kita memperoleh pengertian dan pandangan beberapa tokoh tentang alasan seseorang melakukan pamer atau flexing di medsos, tentu kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada perlunya pamer harta di medsos. Mari kita ambil kasus Indra Kesuma dan Doni Salmanan, youtuber yang gemar pamer harta akhirnya berurusan dengan polisi. Mereka disangka melakukan penipuan sebagai afiliator binomo. Sejumlah selebgram Indonesia juga banyak terjerat masalah dari kegemaran mereka flexing di medsos. Tak terbilang banyaknya orang awam atau bahkan kita juga pernah atau sering mengunggah foto dan video yang “berbau” pamer di medsos. Sesekali mungkin tidak masalah, berulang kali jelas itu berlebihan. Bukankah segala yang berlebihan tidak baik untuk dilakukan?
MARKIJAK, Mari Kita Bijak dalam menggunakan media sosial!