Proyeksi Layar HP Ke PC dan Laptop : Screen Mirroring Menggunakan Vysor

Dwi Kustari, S.Sos. BBPMP Provinsi Jawa Tengah   Pengantar Saat melakukan presentasi tentang sebuah aplikasi, terkadang kita dituntut untuk menunjukkan...
Read More

Laporan ULT Bulan Maret 2022

Laporan Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) Bulan Maret 2022 ULT LPMP Provinsi Jawa Tengah   Jumlah Pengunjung ULT LPMP Provinsi Jawa...
Read More

Release Update ARKAS V 3.3

Pada Tanggal 21 April 2022 Aplikasi arkas update Release Update ARKAS V 3.3. Berikut adalah listperbaikannya: 1. Penyesuaian tarif PPn...
Read More

Bimtek Platform Merdeka Belajar dan IKM bagi Pengawas Angkatan I

Semarang-LPMP Jateng.  Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Jawa Tengah melaksanakan Bimbingan Teknis Pemanfaatan Platform Merdeka Mengajar dan Implementasi Kurikulum Merdeka...
Read More

Menyambut UNBK paperless: Menengok UN dalam Lintasan Sejarah Untuk Mewujudkan Indeks Integritas Kejujuran Sekolah

Oleh : Edy Siswanto, M.Pd.*

 

Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menjaminan mutu pendidikan di sekolah. UN SMK dimulai Senin sampai Kamis tangal 3 – 6 April 2017. Sengaja dibuat berbeda jadwal pelaksanaannya dengan masing-masing jenjang pendidikan agar bisa dimanfaatkan oleh sekolah lain dalam persediaan alat, sarana dan perlengkapan komputer yang terbatas. Sudah tiga tahun sejak tahun 2014 pemerintah mencoba melakukan dan meningkatkan terobosan dengan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). 

UN kini didorong UNBK sudah tidak lagi menjadi penentu kelulusan, kelulusan ditentukan oleh sekolah. UN sudah tidak lagi menjadi momok dan hantu yang menakutkan bagi siswa semestinya.

 

Namun UN belum terasa banyak perubahan siginifikan dalam hal peningkatan mutu pendidikan dari segi integritas dan kejujuran pada output pendidikan kita.

Sederet pertanyaan sering muncul di tengah masyarakat. Haruskah pemerintah melakukan penilaian dengan UN?

 

Bagaimana UN dalam lintasan sejarah pernah dilakukan pemerintah?

Mengapa UN selalu menjadi polemik dan menyisakan masalah dari waktu kewaktu? Mengapa UN dalam pelaksanaannya belum bisa secara obyektif untuk mengukur pemetaan, pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan, sebagaimana tujuan awal semula UN yang bukan penentu kelulusan? Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan di atas.

 

Haruskah pemerintah melakukan penilaian dengan UN? Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 63 ayat 1 : Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas 3 penilaian yaitu : Penilaian hasil belajar oleh pendidik, sekolah dan Pemerintah. Pada penilaian oleh pemerintah ini, pemerintah berperan ikut mengontrol dan melakukan penilaian kepada satuan pendidikan yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan bisa dilakukan dalam bentuk UN.

 

Dalam lintasan sejarah perubahan UN pernah dilakukan beberapa kali oleh pemerintah. Sejak awal kemerdekaan tepatnya tahun 1950ansudah mengalami banyak perubahan.

Tahun 1950-1960an. Pada periode ini Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan menyelenggarakan Ujian Penghabisan yang mana seluruh soal berbentuk esai dan diperiksa oleh pusat-pusat rayon.

Tahun 1965-1971. Pada periode ini Pemerintah memegang kendali pelaksanaan ujian di mana seluruh mata pelajaran diujikan dalam bentuk Ujian Negara.

 

Tahun 1972-1979. Pada periode ini Pemerintah mempersilahkan masing-masing sekolah untuk menyelenggarakan ujian akhir dalam bentuk Ujian Sekolah (US). Kendali mutu lulusan (kelulusan) dipegang sepenuhnya oleh sekolah. Pemerintah hanya menyediakan pedoman pelaksanaannya untuk menjamin kesetaraan penyelenggaraan ujian oleh masing-masing sekolah.

 

Tahun 1980-2001. Pada periode ini kendali mutu lulusan ditentukan oleh 2 model evaluasi yaitu Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang dikoordinir oleh Pemerintah Pusat dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir) EBTA yang dikoordinir oleh Pemerintah Daerah. Pada EBTANAS, kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi nilai rapor semester I (P), nilai rapor semester II (Q) dan nilai EBTANAS murni (R). Oleh sebab itu pada periode ini, penentu kelulusan dipegang oleh Pemerintah dan Sekolah.

 

Tahun 2002-2004. Pada tahun 2002, EBTANAS diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan kemudian berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Perbedaan yang menonjol antara UAN dengan EBTANAS adalah dalam cara menentukan kelulusan siswa, terutama sejak tahun 2003. Untuk kelulusan saat itu pada UAN ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual dengan standar nilai kelulusan 3.01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-rata minimal 6.00. Soal ujian dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional dan pihak sekolah tidak dapat mengatrol nilai UAN. Para siswa yang tidak/belum lulus masih diberi kesempatan mengulang selang satu minggu sesudahnya.

 

Pada UAN 2004, syarat nilai kelulusan siswa mengalami kenaikan minimal pada setiap mata pelajaran 4.01 dan tidak ada nilai rata-rata minimal. Pada mulanya UAN 2004 ini tidak ada ujian ulang bagi yang tidak/belum lulus. Namun setelah mendapat masukan dari berbagai lapisan masyarakat, akhirnya diadakan ujian ulang.

 

Tahun 2005-Sekarang. Mulai tahun 2005 untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, pemerintah melakukan UAN pada sekolah menengah. Sedangkan untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, mulai tahun ajaran 2008/2009 pemerintah menyelenggarakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk sekolah dasar. Khusus SMK, mata pelajaran yang diujikan dalam UN adalah Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Kompetensi Kejuruan.

 

Tahun 2014/2015, Pemerintah melakukan terobosan dengan menyelenggarakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dengan SMK 100% didorong untuk bisa menyelanggarakanya. Sekalipun dengan menyewa ataupun menginduk disekolah terdekat. Dengan semangat menghindari kecurangan dan ketidakjujuran.

 

 

Mengapa UN selalu menjadi polemik dan menyisakan masalah dari waktu ke waktu? Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

 

Dengan itu, menentukan kelulusan siswa tidak bisa dengan UN saja. karena UN dinilai hanya mengukur satu aspek kompetensi kelulusan yakni aspek kognitif. Aspek hasil abaikan aspek penting lainnya yaitu proses.

 

Padahal menurut penjelasan pasal 35 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan(kognitif), dan keterampilan (psikomotorik).

 

Oleh karena itu, seharusnya kelulusan siswa dikembalikan kepada guru dan sekolah sebagai pihak yang paling tahu proses perkembangan siswa itu sendiri. Nilai UN selama empat hari tidak bisa digunakan sebagai salah satu faktor penilaian keberhasilan sekolah dalam proses belajar mengajar.

 

Karena pendidikan harus berorientasi kepada proses bukan hasil. Jika segala sesuatu yang kita lakukan hanya bertujuan untuk mencapai hasil maka segala cara akan dilakukan untuk meraih hasil yang diinginkan. Keberhasilan pendidikan diukur dengan moralitas atau akhlak para lulusannya (dengan penilaian portofolio), di samping tidak mengabaikan intelektual dan kecakapan hidup.

 

Dengan kata lain, moralitas menjadi fondasi dasar dalam membangun manusia yang tangguh. Alasannya sangat sederhana karena akhlak adalah simbol utama kemanusiaan. Ini pula yang menjadi modal utama manusia dalam berkomunikasi sosial dan alat kontrol atas capaian intelektual seseorang sehingga pengetahuannya tidak disalahgunakan. Seandainya moralitas dan karakter siswa gagal dibentuk, itu artinya proses pendidikan gagal total. Sebab keselarasan sosial, serta dinamika pembangunan tidak akan berjalan baik, bahkan berpotensi gagal karena dikendalikan oleh individu-individu cerdas tetapi egois dan hedonis-materialis. Dan Inilah yang sedang menimpa Indonesia saat ini.

 

Sekali lagi kami menekankan bahwa kami sepakat Indonesia membutuhkan alat ukur kinerja pendidikan. Kalau tidak ada alat ukur, darimana kita akan tahu kinerja dan standar pengetahuan siswa-siswi kita. Tetapi UN bukanlah metode yang tepat untuk menjadi alat ukur berhasil atau tidaknya kita mendidik siswa.

 

Hambatan dan rintangan akan dihadapinya jika suatu waktu timbul aturan yang tidak disengaja “membodohi” bangsa. Karena kebodohan itu sangat berlawanan dengan kecerdasan. Untuk itu dibutuhkan waktu yang lama dan sistem yang dijalankan secara konsisten dari tiap orang yang mengaku pemimpin bangsa harus komitmen dalam mencerdaskan bangsa.

 

UN sebagai bagian dalam sistem pendidikan tidak bisa terlepas dari tujuan pendidikan Oleh karena itu penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental. Hal itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma pendidikan islam.

Paradigma pendidikan dalam islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki : kepribadian islam, seperti pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang berpijak pada akidah islam. Dan Menguasai tsaqofah islamiyah dengan handal Islam mendorong setiap orang untuk menjadi manusia yang berilmu dengan cara mewajibakannya untuk menuntut ilmu. Memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna

Kini Mari kita sambut UNBK paperless dengan tidak menggunakan kertas selain membantu program pemerintah dalam mengurangi penggunaan kertas yang persediannya mulai berkurang. UNBK dikawal sesuai Prosedur Operasional Standar (POS) untuk menjamin pelaksanaan Ujian Nasional yang akuntabel dan kredibel. Dalam upaya mewujudkan indeks integritas kejujuran sekolah penyelenggara.

 

Dengan adanya perbaikan dari masa kemasa kini UN menjadi UNBK dilapangan harus bisa mengawal dan menjamin kejujuran sehingga indeks integritas kejujuran sekolah tetap terjaga. Anggapan UN belum bisa mengukur pemetaan, peningkatan dan pemerataan mutu program pendidikan. Akan terjawab dengan UNBK. Semoga! Sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya diharapkan ada sinergi dan kerjasama antara pihak perguruan tinggi dengan Kemendikbud sehingga hasil UN bisa menjadi pertimbangan untuk masuk Perguruan Tinggi.

 

 

* : (Wakasek Kurikulum SMKN 4 Kendal, Alumni S2 Manajemen Pendidikan Unnes Semarang)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

iklan