
Menjadi Joko Tarub Jepang
Sesungguhnya Sang Istri sudah berpesan berkali-kali agar lelaki itu tidak membuka tutup periuk nasi. Tapi larangan itu tak dihiraukan oleh lelaki itu. Lelaki itu, yang tak lain adalah Joko Tarub, tokoh legenda di Jawa yang berhasil menyunting seorang bidadari bernama Nawang Wulan dengan cara menyembunyikan pakaiannya, nekad melanggar larangan Sang Istri karena rasa penasaran. Ya, ia memang merasa sangat penasaran karena meskipun Sang Istri menanak nasi tiap hari, tapi persediaan padi di lumbung tidak pernah berkurang. Ketika periuk nasi itu dibuka, pemuda pencari kayu bakar di hutan itu terkejut karena ternyata Sang Istri hanya menanak satu butir beras, dan itu ternyata mencukupi untuk makan keluarga selama satu hari.
Biji padi itu memang sesungguhnya merupakan biji ajaib. Namun, kekuatannya akan hilang ketika dilihat oleh manusia. Maka, setelah peristiwa itu, padi ajaib itu pun tidak berfungsi lagi. Akibatnya, bisa diduga, lama-lama persediaan padi di lumbung menipis. Dan pada saat persediaan menipis itulah Sang Istri, Nawang Wulan, menjumpai pakaian bidadarinya yang ternyata disembunyikan oleh Joko Tarub di dasar lumbung padi. Dengan pakaiannya itu, Nawang Wulan bisa kembali ke negeri asalnya, yakni negeri bidadari di atas langit sana, dengan meninggalkan sang suami dan anak satu-satunya di bumi.
Apa yang kemudian dilakukan oleh Joko Tarub ketika menjumpai kenyataan bahwa istrinya telah meninggalkannya? Dia merasa menyesal karena telah melanggar larangan istrinya. Dia meratapi kebodohannya. Karena ketidakpercayaannya pada istrinya itulah akhirnya ia hidup merana di bumi bersama anaknya.
Di Jepang, ternyata juga ada cerita yang mirip dengan Joko Tarub itu. Judulnya Amafuri Otome. Tokoh utamanya seorang pemuda bernama Mikeran. Pemuda itu mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan cara berladang dan mencari kayu bakar di hutan. Suatu kali, selesai mengumpulkan kayu bakar, ia bermaksud mandi di sungai. Namun, di sungai itu ia justru melihat seorang wanita yang sedang mandi. Kimono yang indah milik wanita itu ditaruh di pohon pinus pinggir sungai. Dan kemudian, seperti dalam cerita Joko Tarub, Mikeran mengambil kimono itu. Maka, seperti juga dalam cerita Joko Tarub, Mikeran berhasil memperistri wanita yang kemudian diketahuinya berasal dari langit itu.
Tujuh tahun dari perkawinannya, mereka dikaruniai tiga orang anak. Anak pertama berumur 6 tahun, anak kedua berumur 4 tahun, dan anak ketiga baru berumur 1 tahun. Suatu hari, ketika Sang Suami pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, Sang Istri pergi ke sungai untuk mengambil air. Sebelumnya wanita itu mengikat anak bungsunya di punggung anak sulungnya, sementara anak kedua yang sudah berumur 4 tahun diminta untuk menepuk-nepuk punggung Sang Adik yang masih bayi itu. Ketika pulang dari sungai, ia mendengar anak pertama dan kedua sedang bernyanyi untuk meninabobokan adiknya. Bunyi nyanyian itu:
selamat tidur, adikku kecil, jangan menangis
apabila ayah pulang, akan ada kejutan
ia akan membuka lumbung padi
lumbung padi yang mempunyai pilar empat
dan di belakangnya terdapat karung-karung jawawut
di bawah-belakang ada karung-karung beras
dan di belakang karung-karung beras itu ada jubah menari
dia akan mengeluarkannya untuk kita
Mendengar nyanyian itu, wanita itu menjadi tahu bahwa kimononya selama ini telah disembunyikan oleh Sang Suami di lumbung padi. Karena itu, ia kemudian bergegas mengambilnya. Dan dengan kimononya wanita itu bisa kembali ke langit bersama ketiga anaknya. Ia menggendong anak sulungnya di atas punggungnya, anak keduanya di dalam dada kimononya, dan anak bungsunya di lengan kanannya.
Apa yang dilakukan oleh Mikeran ketika menjumpai kenyataan bahwa istri dan anak-anaknya telah meninggalkannya? Menyesali perbuatannya dan kemudian merana hidupnya seperti Joko Tarub? Ternyata tidak. Ia berpikir keras, bertanya ke tetangga-tetangga, berunding dengan siapa saja untuk menemukan cara supaya bisa bersatu dengan istri dan ketiga anaknya lagi. Atas kerja kerasnya itu ia mendapatkan petunjuk untuk bisa menyusul istrinya, yaitu dengan cara mengumpulkan seribu pasang bakiak kayu dan seribu pasang sandal jerami sebagai dasar untuk menanam pohon bambu. Dengan cara itu, meskipun masih tetap berliku-liku, ia akhirnya dapat berkumpul dengan istrinya kembali.
Mikeran memberi pelajaran kepada kita, meskipun tampaknya mustahil, namun jika kita berupaya secara maksimal, meskipun dalam waktu yang relatif lama; apa yang kita inginkan akan terwujud. Dan sifat semacam itulah yang harus dimiliki oleh seorang guru ketika menghadapi murid-mirid yang bandel, sarana yang tidak memadai, atau bahkan lingkungan yang tidak mendukung.