
BUAH JERUK SUPERISTIMEWA
Oleh : Dzakiron, Guru PAI SDN 01 Tenogo Kabupaten Pekalongan
“Oke, sekarang bagaimana cara kalian akan memetiknya?” tanya saya kepada tiga bocah di depan saya: Bima, Lana, dan Zidan pada Selasa sore, 11 Februari 2020 silam setelah Sholat Ashar di depan Masjid Baitul Abror Paninggaran Kabupaten Pekalongan.
Sebelum Ashar, ketiga tetangga saya yang masih duduk di kelas II dan IV SD itu meminta izin memetik buah jeruk di depan masjid. Bukan buah sembarangan karena buah perdana alias kali pertama berbuah setelah bertahun-tahun pohonnya tumbuh subur. Tentu saja saya mengiyakan. Selain mempersyaratkan pemetikannya bakda Ashar, saya melihat momen emas untuk mengeksplorasi kemampuan mereka dalam berinisiatif dan bekerja tim.
Ketiganya terlihat kasak-kusuk berdiskusi ala anak-anak. Melihat antusias mereka, saya menyambung “Kalau memanjat, kelihatannya beresiko tinggi karena selain semut merahnya galak-galak, pohonnya basah setelah hujan lebat tadi. Kalau didorong pakai bambu, buahnya bisa jatuh ke kebun bawah. Bagaimana?”
“Pakai ember”, “Pakai tali”, “Pakai………” dan ide pun bermunculan. Asyik juga obrolan sore itu.
“Embernya dibagaimanakan?”, “Kalau pakai tali, jeruknya bisa langsung terjun bebas, dong!”, “Misalnya……” saya pun menguji balik ide-ide mereka.
Reaksinya? “Iya, ya. Kenapa tidak terpikirkan, ya?”. Juga “Tapi, ‘kan…….”. Dan “Kok tidak mudah, ya?”
Saya mengambil sapu bergagang bambu panjang pembersih langit-langit masjid dan menyodorkan ke forum diskusi itu. “Bagaimana kalau pakai ini?” tanya saya singkat.
Tiga pasang mata berbinar. “Nah ini…… pasti langsung kena” seru salah satunya. “Jangan, nanti jeruknya jatuh,” sambung yang lain. “Pakai ember!” seru lainnya.
Saya bergegas ke gudang masjid dan mengambil sebuah ember bertalikan kawat bekas. “Di gudang ada ember bertali rafia. Mengapa saya mengambil yang ini” tanya saya sembari meletakkan ember itu.
Sahut menyahut terdengar jawaban. Sampai akhirnya saya pun memberi alasan, “Buah jeruk itu ‘kan bergantung di ranting. Ember ini kita pasang kuat di ujung bambu. Kawat penggantung ember akan berfungsi sebagai pisau. Setelah posisi ember tepat di bawah buah jeruk, kita tarik, serrrrrrr…….. kawat akan memotong gantungan jeruk, jeruk pun akan jatuh ke dalam ember. Gimana, oke, ‘kan?”
Pekikan menyerupai sorak sorai terdengar. “Oke! Ayo serbu……!”.
Setelah ember dipasang, kami berempat mengangkat bambu panjang itu bersama-sama. Membidik jeruk di sela-sela ranting yang cukup rimbun. Tak mudah. Setelah beberapa kali meleset, akhirnya jeruk pun masuk dengan indahnya ke dalam ember.
Nah saat ember ditarik dengan menghindari ranting-ranting, insiden pun terjadi. Kawat pengikat ember putus! Ember pun terjebak di sela-sela ranting.
Sebatang bambu seukuran tongkat Pramuka pun diambil untuk mencoba mendorong ember bersama-sama dengan bambu panjang dengan hati-hati agar ember tak berbalik. Gagal total!
Akhirnya keputusan pun diambil dengan terpaksa: ember didorong kuat. Dan ia pun adu cepat dengan buah jeruk meluncur ke kebun depan Masjid. Apa boleh buat.
Perjuangan berikutnya adalah mengambil jeruk itu. Tebing yang cukup licin ternyata menjadi penghalang utama. Beberapa kali ketiga anak itu gagal menuruni tebing meskipun sudah mencoba saling berpegangan tangan.
“Kalau tak bisa turun bersama-sama, kenapa kalian tak mencoba turun satu per satu menggunakan alat bantu tongkat ini?” tanya saya. “Gunakan tongkat sebagai tali, yang satu turun dengan memegang satu ujungnya, yang lain memegang ujung lainnya. Dan begitu seterusnya”
Hampir serempak ketiganya menatap saya. “Lalu yang terakhir siapa yang memegangi tongkatnya?” tanya mereka.
“He….he……’kan ada saya”, jawab saya
“Iya, ya”
Dan begitulah. Akhirnya, jeruk Bali itu pun tiba di genggaman dengan selamat.
“Makannya nanti bakda Sholat Magrib, ya?” tanya saya yang segera diiyakan. Kebetulan ada yang mesti bergegas berangkat sekolah ke TPQ.
Bakda Solat Magrib berjamaah, pesta jeruk perdana pun digelar. Bukan cuma ketiga bocah itu yang turut menikmatinya. Bocah-bocah lainnya yang turut sholat berjamaah pun ikut gembira bersama dalam even itu.
Yup, ini kisah tentang jeruk. Bukan jeruk biasa. Karena, ia jeruk pertama di garis keturunannya. Jeruk super istimewa, yang untuk memetiknya pun butuh diskusi panjang lebar plus perjuangan yang lumayan asyik bakda Sholat Ashar berjamaah. Juga istimewa dalam menyantapnya: bakda Sholat Magrib berjamaah.
Bahwa menurut bocah-bocah itu rasanya manis sedangkan menurut saya jauh dari manis, bukanlah sebuah persoalan besar yang harus diperdebatkan. Namanya juga anak-anak, yang kerapkali lebih menikmati proses dan kebersamaannya daripada wujud fisiknya.
Persis seperti saya dulu kala seusia mereka yang rela berpanas-panasan dan berlarian ratusan meter dengan menerjang beragam tanaman tetangga atau bahkan mengabaikan lalu lalang kendaraan di jalan raya hanya untuk mengejar layang-layang putus yang kata orang dewasa saat itu: “Ya Allahhhhhh…….berapa sih harganya?” dengan raut muka keheranan bercampur marah seakan-akan mereka lupa bahwa dulu pun mungkin mereka melakukan hal yang sama dan tak lagi ingat betapa bangganya memenangkan perjuangan akbar : merebut dan membawa pulang layang-layang putus.
Dunia mereka tak pernah sama dengan dunia kita dulu. Hidup dan kehidupan mereka, anak dan atau anak-anak didik kita, sekarang mungkin lebih akrab dengan perangkat ajaib bernama smartphone alias ponsel pintar. Siapa lagi yang memperkenalkannya kalau bukan kita. Entah agar mereka tak rewel, tak mengganggu pekerjaan atau bahkan keasyikan kita menggunakan barang yang sama. Setiap waktu, setiap saat, setiap hari. Dan saat mereka sudah teramat karib dengannya, hingga sulit dipisahkan barang sejenak, kita pun termangu dalam heran dan takjub bercampur geram dan entah apa lagi untuk kemudian mengeluh seakan tanpa dosa mencari penyebabnya.
Mungkin sudah saatnya kita menyadari bahwa “Hukum Kebenaran Orang Tua”, yaitu Pasal Satu: Orang tua tak pernah salah; dan Pasal Dua: Bila orang tua salah lihatlah Pasal Satu yang selama ini kita yakini kesaktiannya kerapkali hanya memperumit permasalahan selama kita hanya menuntut tanpa memberi atau bahkan menjadi teladan pada saat yang bersamaan.
Mantap
Utk memacu anak” sekitar berfikir kreatif
Keren tulisannya pak. Sebagai orang tua juga guru kita harus mampu mendidik anak² kita gigih berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Tidak melulu apa yang mereka mau serta merta ada dihadapannya dengan dalih itu tanda sayang kita. Oh no…..
Semoga sukses Pak Dzakiron.
Siip
Luar biasa.. keren banget tulisannya Pak Dzakiron..
Luar biasa…Mantap pak…
Mantap…..
Pak Dzakiron hebat
Kisah yg sangat menginspirasi bahwa setiap tempat adalah kelas di mana guru tetap nerkesempatan menanamkan pendidikan karakter. Top…