
Belajar dari Memancing
Memancing adalah sebuah kegiatan yang mengasyikan. Terutama bagi kaum laki-laki. Terbukti sejak zaman dahulu kala sampai zaman revolusi industri ke-4 ini kegiatan mancing masih terus dilakukan oleh umat manusia. Khususnya umat laki-laki. Kalau umat perempuan sih sebagian justru ada yang jengkel dengan hobi memancing suaminya. Bagi mereka mungkin memancing tidak ada asyiknya sama sekali.
Konon ada seorang pemuda yang sangat hobi memancing dan sangat berbakti kepada ibunya. Namanya Khidir. Bahkan ia juga seorang nabi. Karena baktinya kepada ibunya, ia diberi keistimewaan oleh Allah SWT untuk tetap hidup sampai sekarang. Ia menjadi seorang teleporter yang bisa bergerak menembus ruang dan waktu kapanpun dan di manapun. Kisahnya terekam sejak di zaman nabi-nabi dahulu kala, zaman para wali, sampai akhir zaman seperti saat ini. Bahkan doa memancing yang ia amalkan sampai sekarang juga masih banyak diamalkan oleh para pemancing yang religius agar mendapatkan hasil yang melimpah.
Memancing akan semakin asyik jika ikan yang kita pancing ukurannya semakin besar. Bahkan ada para pemancing khusus yang sengaja mencari sasaran ikan-ikan berkelas monster yang ukurannya luar biasa besar.
Di manakah bagian terasik dari kegiatan memancing? Ada yang mengatakan waktu menunggu itulah hal terasyik. Ada lagi yang menganggap ketenangan tempat memancing juga hal yang paling mengasyikkan. Namun bagi penulis bagian paling asik dari memancing adalah strike!
Srike atau sambaran umpan oleh ikan akan menghasilkan tarikan mengejutkan pada tali pancing dan itu memberi sensasi tersendiri. Makhluk samar yang berada di bawah air itu seringkali membuat kita mengalami sport jantung. Pada saat terjadi tarik ulur tali pancing dan adu tenaga dengan ikan yang menyambar umpan itu detak jantung menjadi lebih keras dan cepat. Kegiatan yang berlangsung kadang hanya beberapa detik itu bisa berakhir dengan kebahagiaan atau sebaliknya, kekecewaan.
Orang bahagia jika ikan yang menyambar umpan tertangkap. Semakin besar ukuran ikan, semakin besar rasa bahagia. Sebaliknya orang akan kecewa jika hasil pancingan terlalu kecil, ikan besar lepas lagi, umpan tidak ada yang menyentuh, atau umpan habis gak jelas. Apalagi ditambah dengan tali pancing yang putus dan mata kail yang hilang. Kekecewaan akan semakin lengkap jika hilangnya mata kail membuat kita harus berhenti memancing sama sekali dan pulang dengan tangan hampa.
Asyiknya memancing konon bukan hanya berlaku ketika orang memancing ikan, belut, sidat, lobster, atau bahkan ular dan buaya. Di kalangan tertentu, bahkan ada orang-orang yang menjadi spesialis untuk memancing kerusuhan. Semakin besar kerusuhan yang timbul maka akan semakin asik bagi oknum tersebut. Semoga kita tidak ikut-ikutan menjadi pemancing versi terakhir ini ya.
Berbicara tentang memancing, penulis memiliki pengalaman menarik. Hari ketiga lebaran kemarin penulis dan keluarga memutuskan untuk berlibur ke tempat wisata Tlatar di Boyolali. Informasi awal yang penulis dapat tempat tersebut merupakan tempat pemandian dengan sumber air alami, tempat outbound, arena memandikan kerbau bagi anak-anak, sampai restoran dengan pemancingannya.
Karena menduga bahwa itu adalah tempat pemancingan biasa maka tidak ada satupun kaum lelaki yang membawa alat pancing. Paling-paling tempat itu juga menyediakan alat pancing pikir kami.
Ternyata kami kecele. Kami hanya bisa menelan ludah ketika menyaksikan para pemancing yang sengaja datang dengan alat pancing lengkap memancing di sana. Dari tepi kolam yang sangat jernih itu kami bisa menyaksikan sejumlah besar ikan yang bergerak kesana kemari. Ikan-ikan itu berenang dengan bebasnya ke segala penjuru kolam yang berbentuk lingkaran berdiameter 50 m lebih dan kedalaman 150 cm itu.
Ukuran ikan-ikan itu memang benar-benar mengagumkan. Menurut penjaga kolam ikan-ikan yang sangat besar itu usianya mungkin lebih dari 8 tahun. Jika di timbang, rata-rata beratnya bisa antara 2 sampai 5 kg per ekor. Ikan yang jumlahnya mencapai ribuan itu meliputi jenis mujair, emas, nila, dan bawal. Di antara ikan-ikan tersebut yang ukurannya cenderung lebih besar dan gerakannya paling lincah adalah ikan bawal.
Sambil menunggu pesanan makanan kami berkeliling menyaksikan beberapa pemancing yang sesekali mendapatkan strike. Tarikan ikan besar yang kuat rupanya sering kali membuat para pemancing itu gagal mendapatkan hasil pancingan. Tali pancingnya putus atau mata kailnya tersangkut di batu.
Membludaknya jumlah pengunjung rupanya membuat pelayanan kepada pelanggan menjadi molor. Sudah satu jam lebih pesanan kami belum datang. Rasa bosan melanda anak-anak sehingga kami harus menghibur mereka. Mulai dari mandi di arus sumber air, mencari ikan kecil di aliran sungai, sampai naik becak air sudah dilakukan. Namun pesanan masih tetap belum datang. Anak-anak semakin bosan. maka kami mengalihkan perhatian mereka dengan mengajak jalan-jalan.
Pada saat berjalan-jalan di tepi kolam tidak sengaja salah satu keponakan melihat pengapung tali pancing yang putus tampak berada dibawah permukaan air. Dengan cekatan penulis memasukkan tangan ke dalam air untuk mengambil pengapung berwarna merah putih itu. Pucuk dicinta ulam tiba. Ternyata pengapung tersebut memiliki tali pancing yang ruwet dengan tiga mata kail!
Untunglah kami para laki-laki yang terbiasa menguraikan keruwetan menjadi sesuatu yang lurus. Akhirnya dengan segala daya upaya kami berhasil mengurai tali pancing yang ruwet itu sehingga menghasilkan 3 alat pancing baru. Liatnya tali pancing membuat kami harus bekerja keras untuk memutuskannya dengan cara memukulinya dengan batu.
Kami melihat para pemancing sebagian menggunakan palet dan sebagian lagi menggunakan kobis untuk memancing. Kami hanya memiliki sisa-sisa kepala ikan sebagai umpan. Namun ternyata umpan itu cukup efektif. Baru beberapa saat kepala lele bakar itu dimasukkan ke dalam kolam, sesaat kemudian seekor mujair monster sudah tersangkut mata pancing kami dan naik ke daratan. Setelah ikan besar itu diajak foto-foto sejenak oleh rombongan binatang nahas itu kemudian dilepaskan kembali dalam kondisi bagian bibir robek. Perintah penjaga kolam jelas. Setelah ikan terpancing silahkan dikembalikan lagi ke dalam kolam. Maka dengan disaksikan oleh beberapa mata kamera ikan itu kami lepaskan. “Release!” begitu teriak orang-orang yang menyaksikan seperti di acara Mancing Mania yang ada di televisi.
Kami mencoba keberuntungan kedua untuk memperoleh ikan yang lebih besar lagi. Sasaran kami adalah ikan bawal yang warnanya kehitaman dan bergerak meluncur cepat sekali. Kata seorang teman, jika ikan bawal besar itu menyambar umpan rasanya seperti memancing ikan paus. Dahsyat sekali sensasinya! Hanya saja kami harus menerima kabar buruk. Dua tali pancing putus karena umpan disambar oleh ikan yang terlalu besar itu.
Tanpa sengaja penulis melihat sebatang bambu panjang berukuran joran pancing terselip di atap ijuk. Penulis segera memanjat pohon cemara yang berdekatan dengan tempat tersebut dan mengambilnya. Ternyata di ujung bambu itu terdapat mata pancing yang besar.
Melihat besar dan beratnya ikan yang menyambar umpan penulis tidak kurang akal. Segera mata kail itu penulis ikat dengan tali pancing rangkap 3. Bambu panjang itu penulis jadikan dua dan masing-masing menjadi joran pancing. Salah satunya dipakai oleh anak laki-laki penulis yang sejak mendapatkan 1 dari 3 mata kail bingung mencari joran pancing.
Kegiatan memancing dimulai lagi. Kali ini rupanya ikan-ikan sudah tahu dengan trik kami. Ikan-ikan itu tampaknya belajar secara naluriah. Mereka tidak mau memakan begitu saja kepala ikan yang tergantung di ujung tali pancing yang menulis masukkan ke dalam air.
Sebagai catatan. Mujair besar yang sebelumnya memakan umpan kami adalah ikan yang sebelah matanya buta. Kebutaan itu mungkin akibat pernah terkena mata pancing sebelumnya. Kami menduga karena kebutaannya itulah ikan itu jadi ngawur dan asal sambar umpan saja.
Akhirnya umpan di ujung tali pancing penulis habis dengan sendirinya karena dikerubuti oleh ikan-ikan kecil. Keengganan ikan-ikan besar itu untuk menyambar umpan penulis tidak membuat penulis menyerah. Eksperimen berikutnya penulis coba.
Kali ini sambil memasukkan umpan yang ada di ujung tali pancing penulis menyebarkan juga sisa-sisa ikan di sekitar umpan. Segera berdatangan ikan-ikan dari segala penjuru. Dan woops!
Dalam waktu 1 detik terjadi strike dan penulis cepat-cepat menarik tali pancing. Seekor ikan nila berwarna albino dengan berat 2,5 kg segera berpindah ke daratan. Semua anggota rombongan rameai-ramai mengerubuti ikan dan berfoto-foto selfie. Kail yang sudah penulis lepas segera penulis isi lagi dengan umpan kepala ikan. Dan woops! Sekali lagi seekor mujair besar tergantung di ujung tali pancing. Suasana menjadi ramai karena dalam hitungan 2 menit penulis berhasil memancing dua ekor ikan dengan ukuran besar.
Kejadian terus berulang sampai penulis berhasil mendapatkan 6 ekor ikan dengan ukuran yang besar-besar. Penulis segera mengakhiri kegiatan memancing ketika semakin lama ikan semakin sulit untuk dipancing. Ikan-ikan itu rupanya terus-menerus belajar dan mengidentifikasi sisa makanan yang aman untuk dimakan dan yang tidak.
Jujur memancing dengan cara penulis tentu tidak bisa menikmati strike berlama-lama. Namun keberhasilan cara kami mengakali ikan rupanya menjadikan kecemburuan tersendiri bagi para pemancing lain. Bagaimana tidak, mereka barangkali harus duduk 10 sampai 30 menit untuk strike. Sementara penulis hanya dalam beberapa menit sudah strike berkali-kali dan hasilnya selalu ikan-ikan besar yang membanggakan untuk diajak berfoto selfie.
Ikan-ikan yang terus belajar secara naluriah itu mengingatkan penulis kepada pepatah Cina bahwa hidup ini adalah belajar. Jika dalam hidup berhenti belajar maka itu berarti kematian. Dan ikan-ikan yang ada di kolam itu jika tidak belajar maka nasibnya akan terpancing dan bisa saja berakhir di penggorengan yang berarti kematian.
Jadi mereka yang bisa bertahan hidup adalah mereka yang belajar. Maka Mari kita belajar sepanjang hayat.
_________________________
*) Sampangan, dini hari. 15 Juni 2019 pukul 03 WIB. Ditulis dengan metode Menemu Baling, menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga.